Saturday 27 December 2014

Makalah tentang Korupsi




MAKALAH

KORUPSI MERAKYAT,
HUKUM MELARAT
Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Dasar Umum Pendidikan Pancasila

Disusun oleh :
Nama : Sukmal Aqiela Abiemanyu
NIM: 12.602.155
Kelas : A5C




FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS INDONESIATIMUR MAKASSAR
2014








KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Alloh SWT., karena taufik dan hidayah-Nya makalah ini dapat selesai disusun. Sholawat dan salam semoga terlimpah curah kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW., kepada para sahabatnya, para tabi’it, para tabi’it tabi’in, sampai kepada kita selaku umatnya. Amin.

Makalah ini dibuat dengan menitikberatkan isi tentang korupsi yang merajalela di Indonesia. Korupsi yang merupakan penyakit sosial ini merupakan perbuatan yang melawan hukum, terutama Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Hukum yang dianggap lemah dan kurang tegas, dituntut untuk bangkit dan bekerja lebih optimal dalam memberantas korupsi. Supaya Indonesia terbebas dari kubangan korupsi yang semakin dalam.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dosen yang telah memberi materi dengan baik, kerabat dan semua pihak yang telah memberi masukan dan bantuan dalam penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari bahwa tiada manusia yang sempurna, demikian juga saya dalam menyusun makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun akan saya terima dengan tangan terbuka.



Makassar, Desember 2014



Penyusun,










DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Pancasila
B. Pancasila Sebagai Sumber Hukum
C. Budaya Korupsi di Indonesia
D. Bangkitkan Hukum Sekarang Juga
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka










BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejak masa VOC, Hindia Belanda, dari rezim Orde Baru Soeharto, yang dipercaya telah meninggalkan banyak persoalan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang juga melibatkan diri dan keluarganya, hingga sekarang masa Orde Reformasi yang sudah dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih masa bakti 2009-2014. Kita pun sebagai warga negara/rakyat seolah-olah sudah terbiasa dengan hadirnya penyakit sosial ini. Bahkan korupsi semakin terbuka dan menjadi-jadi dikala hukum di negara ini dalam keadaan lemah.
Hukum yang berlaku dan dianggap keras dan tegas ternyata tidak mampu mengatasi masalah korupsi ini. Meskipun penjelasannya sudah tertera jelas di dalam Undang-Undang, bahkan dibantu dengan dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang didirikan pada tahun 2004, tetap saja tidak bisa menghilangkan korupsi di tanah air.
Kita semua tahu bahwa hukum tertinggi dan sumber dari segala sumber hukum Indonesia adalah Pancasila, sebagaimana kedudukannya tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Tetapi statement tersebut seolah-olah dijadikan pelengkap dalam penulisan hukum-hukum Indonesia, atau bahkan dianggap telah hilang keberadaannya di Indonesia. Padahal nilai-nilai yang tercantum di dalam Pancasila itu dijadikan pedoman dalam perumusan serta pembuatan hukum-hukum yang ada di Indonesia. Termasuk hukum pidana korupsi. Ternyata dalam pelaksanaannya, justru korupsi inilah yang semakin kuat dan merajalela, sedangkan hukum yang didasari oleh dan dari Pancasila semakin lemah dan pudar seiring berjalannya waktu, meskipun “dasar negara” ini telah lama berdiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menyebabkan korupsi ini terus ada dan merajalela di Indonesia?
2. Mengapa hukum tidak bisa memberantasnya sampai sekarang?
3. Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan penyakit sosial ini dari tanah air Indonesia, setidaknya meminimalisir semakin kuatnya korupsi ini?
4. Bagaimana hukum harus bangkit?





BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Pancasila

Sebelum membahas lebih jauh tentang hukum dan korupsi, alangkah baiknya kita mengetahui dahulu sejarah singkat Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sumber hukum Indonesia.
Pancasila, sebelum dibentuk atau dirumuskan, telah ada sejak zaman kerajaan yang berupa nilai-nilainya saja. Bahkan nilai-nilai Pancasila tercantum pada Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular, dan sebagai cikal bakal nilai-nilai Pancasila sekarang. Para penduduk kerajaan bersama-sama untuk membangun wilayah kerajaan yang damai dengan dipimpin oleh seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Rasa persatuan dan kerakyatan yang dimiliki oleh penduduk kerajaan inilah yang mendasari adanya nilai-nilai Pancasila sejak zaman kerajan.
Begitu juga pada fase penjajahan. Rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil, dipaksa bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan kaum penjajah, sedangkan kehidupannya sendiri sangatlah memprihatinkan tanpa ada rasa iba serta tidak beradabnya perilaku para penjajah. Hal inilah yang memicu rakyat Indonesia untuk merapatkan barisan. Bersatu untuk melawan kaum penjajah yang telah mengganggu ketentraman hidup serta dengan semena-mena memperlakukan rakyat. Akhirnya dengan persatuan yang kuat para penjajah pun berhasil diusir dari tanah air Indonesia.
Masuk fase Budi Utomo dan Sumpah Pemuda, musyawarah para tokoh dan pemuda ini untuk mencapai suatu mufakat telah mencerminkan nilai-nilai Pancasila, yaitu musyawarah untuk mufakat. Hingga akhirnya masuk kepada Sidang BPUPKI I. Pada sidang pertama ini dibahas asal mula rumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Pada sidang ini ada 3 tokoh yang berpidato dan masing-masing memaparkan gagasannya dalam merumuskan dasar negara. Yang pertama adalah Moch. Yamin. Menurutnya negara Indonesia harus memiliki 5 dasar-dasar negara, yaitu Periketuhanan, Perikeadilan, Perikemanusiaan, Perikebangsaan, dan Perikesejahteraan. Selanjutnya adalah pidato dari Soepomo. Beliau menjelaskan tentang teori kenegaraan sebagai dasar negara. Yang ketiga pidato dari Soekarno yang mengungkapkan bahwa negara harus memiliki 5 dasar, yaitu Ketuhanan (Soekarno menyebutnya dengan istilah religieustiet), Internasionalisme, Kebangsaan Nasional atau Nasionalisme, Mufakat atau Permusyawaratan, dan Kesejahteraan Sosial. Kelima konsep hidup yang kemudian dikenal dengan Pancasila ini, menurut Soekarno digali berdasarkan fenomena kehidupan agraris Indonesia dan ditemukan dalam buku “Kertagama”.
Pada Sidang BPUPKI II terjadi pertentangan mengenai sila Pertama antara golongan agama dengan golongan kebangsaan. Adalah golongan agama wilayah Indonesia Timur yang sebagian besar beragama Non Muslim yang menolak apabila Sila Pertama pada Pancasila hanya diperuntukkan kaum Muslim atau besifat khusus. Mereka menganggap bahwa mereka seperti dikucilkan atau tidak diakui sebagai warga Indonesia. Maka atas hasil kesepakatan bersama diubahlah Sila Pertama pada Pancasila seperti yang sekarang kita ketahui.
Selain dirumuskannya kembali Pancasila, dalam sidang kedua ini juga disepakati bentuk negara Indonesia, yaitu Republik, dimana negara akan dipimpin oleh seorang Presiden.
Sejarah akan Pancasila memang panjang. Tetapi apakah dengan panjangnya sejarah perumusan nilai-nilai Pancasila sehingga menjadi Pancasila seutuhnya, dapat membuat panjang atau lama pula integritas Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sumber hukum di Indonesia?

B. Pancasila Sebagai Sumber Hukum
Bagi masyarakat Indonesia, Pancasila bukanlah sesuatu yang asing. Pancasila terdiri atas 5 (lima) asas, tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dan diperuntukkan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu kenegaraan popular disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag). Dalam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara RI, pada hakikatnya sebagai dasar dan asas kerohanian dalam setiap aspek penyelenggaraan negara termasuk dalam penyusunan tertib hukum Indonesia. Maka kedudukan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia, baik yang tertulis yaitu UUD Negara maupun hukum dasar tidak tertulis atau konvensi.
Menurut Prof. Hamid S. Attamimi, Pancasila berkedudukan sebagai Cita Hukum (Rechtsidee) - bukan cita-cita hukum - dari negara Indonesia. Pancasila adalah Cita Hukum yang menguasai hukum dasar negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Cita Hukum berarti gagasan, pikiran, rasa, dan cipta mengenai hukum yang seharusnya diinginkan masyarakat. Pancasila sebagai cita hukum memiliki dua fungsi :
  • Regulatif, artinya cita hukum menguji apakah hukum yang dan dibuat adil atau tidak bagi masyarakat.
  • Konstitutif, artinya fungsi yang menentukan bahwa tanpa dasar cita hukum maka hukum yang dibuat akan kehilangan maknanya sebagai hukum.
Dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara. Pernyataan ini sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai dasar (filosofi) negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Sebagai sumber nilai dan norma negara maka setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Lebih jelas lagi bahwa Pancasila sebagai sumber dasar hukum nasional artinya nilai-nilai Pancasila dijadikan sumber normatif penyusunan hukum oleh karena Pancasila sendiri merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia. Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-unsdangan serta penjabarannya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara berkedudukan sebagai norma dasar bernegara yang menjadi sumber, dasar, landasan norma, serta memberi fungsi konstitutif dan regulatif bagi penyusunan hukum-hukum negara.
Menurut Hans Nawiasky, norma hukum dalam suatu negara berjenjang dan bertingkat membentuk suatu tertib hukum. Norma yang di bawah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya sampai pada norma tertinggi dalam negara yang disebut sebagai Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm). Norma dalam negara itu selain berjenjang, bertingkat dan berlapis, juga membentuk kelompok norma hukum.
Hans Nawiasky berpendapat bahwa kelompok norma hukum negara terdiri atas 4 (empat) kelompok dasar, yaitu:
  1. Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara,
  2. Staatgrundgesetz atau aturan dasar/pokok negara,
  3. Formellgesetz atau undang-undang,
  4. Verordnung dan Autonome Satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom.
Kelompok norma itu bertingkat dan membentuk piramida. Kelompok norma tersebut hampir selalu ada dalam susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah-istilah yang berbeda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam tiap kelompoknya.
Apabila dikaitkan dengan norma hukum di Indonesia maka jelas bahwa Pancasila berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm menurut Hans Nawiasky. Di bawah Staatsfundamentalnorm terdapat Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara. Aturan dasar negara disebut juga dengan hukum dasar negara atau konstitusi negara. Dengan demikian, dasar negara menjadi tempat bergantung atau sumber dari konstitusi negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjadi sumber norma bagi UUD 1945 sebagai konsitusi negara.
Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Berikut ini adalah uraian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pendapat masyarakat tentang arti hukum. Artinya, pengertian apakah yang diberikan masyarakat pada hukum. Arti-arti yang diberikan antara lain:
  1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pikiran,
  2. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi,
  3. Hukum sebagai kaedah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan,
  4. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaedah-kaedah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis,
  5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law-enforcement officer),
  6. Hukum sebagai keputusan penguasa, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan,
  7. Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan yang “teratur”, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian,
  8. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk (G. Duncan Mitchell : 1977).
Pentingnya mengadakan identifikasi terhadap pelbagai arti hukum adalah untuk mencegah terjadinya kesimpangsiuran di dalam melakukan studi terhadap hukum, maupun di dalam penerapannya.
Hukum itu merupakan keseluruhan keputusan-keputusan (dari pejabat maupun antar pribadi), yang dilandasi keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup.
Faham tentang kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang menganggap bahwa kesadaran dalam diri warga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. Masalah keasadaran hukum timbul di dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses terssebut timbul masalah oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya ataupun tidak ditaatinya hukum positif tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan, bahwa ada kesesuaian proporsional antara pengendalian sosial antar penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum yang mengikat warga masyarakat, kecuali atas dasar kesadaran hukumnya (G. E. Langemeijer : 1970).
Jadi, kesadaran hukum merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian (menurut) hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan (Paul Scholten : 1954). Secara langsung maupun tidak langsung, kesadaran hukum berkaitan erat dengan kepatuhan atau ketaatan hukum, yang dikonkritkan dalam sikap tindak atau perikelakuan manusia.

C. Budaya Korupsi di Indonesia
Korupsi (bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi dapat didefinisikan juga sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konteks modern), yang melayani kepentingan umum untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
  • Perbuatan melawan hukum,
  • Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
  • Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi,
  • Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut Ongokham, ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang lebih besar. Sementara itu dalam dimensi lain, yang umumnya terjadi di lingkungan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak.
Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap kali menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIM, proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis ataupun pribadi, dan lain sebagainya.
Menurut Lembaga Transparency International, DPR berubah drastis dari lembaga tukang stempel di era Orde Baru menjadi salah satu lembaga terkorup bersama kepolisian dan pengadilan.
Contoh konkrit hal tersebut adalah dapat dilihat pada pemerintah atau wakil rakyat yang baru yang menempati komisi basah DPR. Komisi basah tersebut adalah Komisi III bidang hukum dan keamanan, Komisi VII bidang pertambangan dan energi, dan Komisi X bidang pendidikan dan budaya. Komisi basah (komisi yang mengeluarkan uang) ini, malah diperebutkan oleh sejumlah partai politik (parpol) yang merupakan tempat bernaung para calon wakil rakyat tersebut.
Perebutan ini sekaligus mencerminkan apa sesungguhnya motovasi mereka menjadi anggota DPR. Apakah mereka ke Senayan karena nafkah atau karena pengabdian. Pengalaman sejauh ini dengan jelas memperlihatkan motivasi nafkah jauh lebih dominan daripada motivasi pengabdian. Karena itu mereka mengincar komisi yang memiliki banyak proyek, atau komisi basah. Semua partai dan fraksi berlomba merebut kedudukan ketua atau wakil ketua yang mungkin diraih dalam komisi-komisi basah itu.
Apakah ini wajah pemerintahan Indonesia? Apakah ini kelakuan para calon wakil rakyat? Mereka hanya mementingkan uang masuk ke dalam kantong mereka tanpa ada pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memberikan amanat dan dengan tulus hati memilih mereka untuk menjadi wakil rakyat. Lalu, apakah arti sumpah dan janji yang yang diucapkan ketika pelantikan para wakil rakyat di Jakarta? Apakah ini hanya formalitas supaya rakyat percaya bahwa wakil rakyat telah diambil sumpah dan siap untuk menjalankan pemerintahan dengan jujur dan bersih? Padahal mereka (wakil rakyat) diambil sumpah di bawah kitab suci. Saksi bisu yang tidak dipungkiri kebenarannya.
Sungguh memprihatinkan. Kekuasaan dan harta telah membutakan mata para pejabat. Jangan-jangan benar apa yang pernah diucapkan oleh mantan wakil presiden M. Hatta, bahwa “Korupsi di Indonesia sudah begitu berurat berakar dan telah menjadi suatu budaya yang amat susah untuk dihilangkan.”
Banyak faktor atau kondisi yang mendukung munculnya korupsi, diantaranya:
  • Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah,
  • Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar,
  • Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”,
  • Lemahnya ketertiban hukum,
  • Lemahnya profesi hukum,
  • Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa,
  • Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil,
  • Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang tidak memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum,
  • Kurangnya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau korupsi,
  • Tidak beratnya hukum atau sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Kondisi inilah yang memberikan celah dan tempat bagi para koruptor untuk melakukan tindakan korupsi. Mungkin para koruptor berpikir bahwa tidak ada tempat untuk tidak korupsi. Di mana pun mereka (para koruptor) berada, asalkan yang mengandung banyak uang, maka di sanalah tempat bagi mereka untuk panen uang. Atau mungkin apabila berada di tempat yang tidak banyak menghasilkan uang, mereka memaksakan untuk menghasilkan uang. Apa pun caranya dan bagaimana pun akhirnya, yang penting uang adalah segalanya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa bukan hanya di kalangan atas korupsi itu terjadi, tetapi juga korupsi juga terjadi di kalangan menengah dan bawah. Dari pejabat tingkat menteri, sampai dengan tingkat daerah seperti gubernur, walikota, bupati, camat, dan terakhir rakyat.
Kita sering melihat atau mendengar di media massa bahwa korupsi telah sampai mewabah ke pemerintahan tingkat daerah. Misalnya kasus Abdullah Puteh, mantan gubernur Aceh dalam pembelian helikopter dan APBD, serta Agus Supriadi, mantan bupati Garut yang menggunakan dana APBD, dan banyak lagi kasus lainnya. Hal ini menunjukan bahwa seolah-olah korupsi itu mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Korupsi bisa menerkam siapa saja tanpa pandang bulu.
Jikalau ini terus terjadi, apakah pemerintahan kita akan terus dihuni oleh para “tikus berdasi”? Bagaimana negara ini akan maju dan makmur apabila para penguasa yang memegang kendali pemerintahan bersikap demikian? Lantas, kemanakah sumpah yang terucap dari mulut mereka, janji yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, Pancasila, rakyat, bangsa dan negara? Apakah kita harus menitipkan negara ini dan berharap kepada mereka yang telah nyata apa motivasi mereka masuk pemerintahan?
Sekarang rakyat hanya bisa terdiam. Terdiam karena melihat para wakilnya bekerja yang jauh dari harapan. Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, begitu pun dengan hukum yang ada. Para aktivis dan mahasiswa yang berteriak di berbagai daerah menuntut untuk diberantasnya korupsi, hanyalah perbuatan yang sia-sia. Aspirasi mereka (para aktivis dan mahasiswa) selama ini tidak pernah didengar oleh para penegak hukum. Setelah ada kasus yang besar dan merugikan negara, barulah para penegak hukum itu pun bertindak.
Lalu, apakah dampak negatif dari korupsi ini? Dampak negatif dari tindak korupsi ini sangatlah luas dan besar. Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi dan pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan, dengan membuat distorsi (kekacauan) dan ketidakefisienan yang tinggi. Korupsi menimbulkan distorsi di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup; pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Pada umumnya orang yang sering memberikan sogokan tidak sama dengan orang yang sering menerima sogokan. Budaya penyogokan mencakup semua aspek kehidupan sehari-hari, menghilangkan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Merupakan suatu pekerjaan rumah yang sangat besar dan berat bagi bangsa Indonesia. Harapan terbesar rakyat Indonesia adalah jangan sampai Indonesia terjerumus semakin dalam dan terpuruk di dasar kelamnya korupsi ini.

D. Bangkitkan Hukum Sekarang Juga
Membangkitkan hukum berarti menegakkan kembali integritas hukum yang ada di Indonesia. Dalam hal ini adalah mencakup masalah korupsi. Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini tertuang secara jelas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan Ketiga berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machessaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Yang dimaksud dengan negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum (Mustafa KAmal Pasha, 2003).
Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian (Achmad Ali, 2002). Di negara hukum, hukum tidak hanya sebagai “formalitas” atau “prosedur” belaka dari kekuasaan. Bila sekedar formalitas, hukum dapat menjadi sarana pembenaran untuk dapat melakukan tindakan yang salah atau menyimpang. Contoh, pada masa lalu presiden sering membuat “Keppres” sebagai tempat berlindung dengan dalih telah berdasarkan hukum, padahal dengan Keppres tersebut presiden dapat menyalahgunakan kekuasaannya. Oleh karena itu di negara hukum, hukum harus tidak boleh mengabaikan “rasa keadilan masyarakat”.
Berdasarkan pernyataan di atas, secara umum bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Lalu, bagaimana keadaan keadaan hukum di Indonesia sekarang? Dalam cakupannya dengan masalah korupsi, hukum Indonesia bisa dikatakan dalam keadaan lemah. Berbagai upaya dilakukan oleh aparat hukum untuk memberantas korupsi ini. Tetapi tetap saja ada dan itu semakin meluas. Mungkin bisa dibilang “gugur satu tumbuh seribu”.
Korupsi di Indonesia harus dihapuskan. Berbagai cara harus dilakukan untuk membuat korupsi ini tidak meluas. Untuk mencegah meluasnya wabah korupsi, salah satunya dapat dilakukan dengan partisipasi publik dalam mengontrol penyelenggaraan negara, dalam hal ini adalah peran media massa. Media massa sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai jembatan penghubung antara pemerintah dan rakyat, untuk mengetahui apa dan bagaimana para pejabat dalam menyelenggarakan kebijakan Negara di pemerintahan. Hal ini sangat diperlukan mengingat kurangnya pengetahuan masyarakat akan hal pemerintahan dan kurangnya pula transparansi pemerintah atau pejabat dalam pengambilan keputusan.
Akuntabilitas dan transparansi birokrasi pemerintahan di Indonesia menjadi syarat lain untuk mengeliminasi korupsi pada birokrasi pemerintahan. Transparansi sangat penting dilakukan pemerintah untuk supaya rakyat mengetahui apa yang sedang terjadi di pemerintahan. Sekarang masih terlihat kurangnya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Buktinya rakyat tidak mengetahui, atau seolah-olah bodoh dalam menilai kinerja pemerintah. Bukankah para pejabat di pemerintahan itu dipilih oleh rakyat secara langsung? Mengapa sekarang setelah duduk manis di kursi pemerintahan tidak bertanggungjawab kepada rakyat? Bahkan janji-janji yang dilontarkan pada saat kampanye untuk mensejahterakan rakyat, telah mereka lupakan karena terlalu nikmat duduk di kursi jabatan. Rakyat telah menjadi korban janji-janji palsu mereka.
Di sinilah peran publik dan media massa, serta lembaga masyarakat dan organisasi lain untuk memantau kinerja pemerintah. Mereka semua harus bisa mendorong para pejabat/pemerintah untuk bersikap transparan atau terbuka. Hanya saja, langkah-langkah publik untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas itu seolah masih membentur tembok kekar birokrasi yang tebal. Malahan korupsi terkesan terbuka dan menjadi-jadi.
Berbicara mengenai kebangkitan hukum, sebenarnya awalnya terletak di dalam hati dan jiwa manusia itu sendiri. Manusia harus mempunyai kesadaran hukum dan disiplin hukum. Kesadaran dan disiplin hukum inilah yang bisa membangkitkan hukum dengan sebaik-baiknya karena manusia adalah merupakan subyek hukum. Masalahnya sekarang adalah apakah manusia itu mempunyai kesadaran hukum? Apabila dikaitkan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, apakah manusia itu telah memaknai dan menjiwai nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila? Jikalau nilai-nilai Pancasila tersebut telah dimaknai dan dijiwai dengan sebenar-benarnya, mungkin korupsi di Indonesia tidak akan ada sama sekali. Karena dengan diamalkannya nilai-nilai tersebut (yang menjadi pedoman hukum), maka manusia atau rakyat telah memiliki kesadaran akan hukum dan berjalannya ketertiban hukum.
Suatu hal yang mudah untuk diucapkan, tetapi susah untuk dilakukan. Membangkitkan hukum bukanlah perkara yang mudah. Membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama untuk itu semua. Tetapi kita semua harus yakin dan optimis bahwa suatu saat nanti supremasi hukum di Indonesia akan bangkit dan berjaya kembali.






BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Pancasila bukanlah sesuatu hal yang asing. Pancasila terdiri atas 5 (lima) asas, tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dan diperuntukkan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag).
Dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai sumber nilai dan norma dasar negara maka setiap materi muatan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara berkedudukan sebagai norma dasar bernegara.
Tindak pidana korupsi dari sudut pandang hukum, merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum. Banyak faktor yang mendukung munculnya korupsi, diantaranya:
  1. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah,
  2. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar,
  3. Lemahnya ketertiban hukum,
  4. Lemahnya profesi hukum,
  5. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa,
  6. Tidak beratnya sanksi/hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Korupsi telah membudaya di Indonesia. Seperti yang pernah diucapkan oleh mantan wakil presiden M. Hatta bahwa “Korupsi di Indonesia sudah begitu berurat berakar dan telah menjadi suatu budaya yang amat susah untuk dihilangkan.” Korupsi dapat mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi yang mengurangi kualitas pelayanan pemerintah. Melihat situasi ini, maka perlu adanya upaya membangkitkan hukum.
Membangkitkan hukum berarti menegakkan kembali integritas hukum yang ada di Indonesia. Pemberantasan korupsi harus segera dilakukan. Untuk mencegah meluasnya wabah korupsi, salah satunya dapat dilakukan dengan partisipasi publik dalam mengontrol penyelenggaraan negara. Akuntabilitas dan transparansi birokrasi pemerintahan menjadi syarat lain untuk mengeliminasi korupsi pada birokrasi pemerintahan.
Perlu adanya kesadaran hukum dalam hati dan jiwa manusia Indonesia. Mereka harus memaknai dan menjiwai setiap nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Jikalau nilai-nilai tersebut telah dijiwai dan dimaknai, serta diamalkan dengan sebena-benarnya, mungkin korupsi di Indonesia tidak akan ada sama sekali. Dengan ini manusia Indonesia telah memiliki kesadaran hukum dalam berjalannya ketertiban hukum.

B. Saran
Supaya korupsi ini tidak semakin meraja, perlu adanya pengawasan langsung dari presiden kita. Pembentukan komisi anti korupsi saja tidak cukup untuk memantau para koruptor. Apabila pejabat/menteri yang ketahuan melakukan tindak korupsi, apapun bentuknya, maka presiden langsung menindaknya. Bahkan harus dipecat langsung.
Semua elemen hukum pun harus bekerja sama. Kepolisian, pengadilan, lembaga masyarakat seperti ICW (Indonesia Corruption Watch) harus ikut serta dalam memantau perkembangan korupsi di Indonesia. Perlu juga hukuman yang diterima oleh para koruptor ditambah dengan seberat-beratnya. Kalau perlu hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Sehingga ada efek jera kepada koruptor lain yang masih berkeliaran.








DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila, Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
Winarno. 2008. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara.
Santosa, Kholid O. 2007. Paradigma Baru Memahami Pancasila dan UUD 1945. Bandung: Sega Arsy.
Subandi, Idy, & Iriantara, Yosal. Drs. M.S. 2003. Melawan Korupsi Di Sektor Publik. Bandung: Saresehan Warga Bandung (SAWARUNG).
Surat kabar Media Indonesia, edisi 2 Oktober 2009.
Surat kabar Media Indonesia, edisi 14 Oktober 2009.



SHARE THIS

Author:

Hi, Saya SUkmal! Saya Seorang Lifestyle Blogger yang juga Content Writer

0 comments: